Penggunaan Atap Bagonjong Perlu Berhati-Hati, Ada Makna Penting Perlu Dihargai

 

Bentuk atap Bagonjong di bangunan Kantor Gubernur Sumatra Barat. (Foto: Sumbar Fokus.)

Oleh: Aisyah Luthfi*)

Provinsi Sumatra Barat merupakan daerah dengan mayoritas masyarakatnya bersuku Minangkabau. Di daerah ini juga tempat berkembangnya sejarah perkembangan Suku Minangkabau. Kelahiran dari orang-orang penting seperti pejabat pemerintahan Wakil Presiden RI pertama yakni Bung Hatta, hingga penyair terkenal Buya HAMKA, lahir dan dibesarkan di Sumatra Barat.  Masyarakat Minangkabau terkenal dengan kecerdasannya sehingga banyak perantau sukses dan cerdas berasal dari daerah asal makanan Rendang ini.

Berdasarkan sejarah, penamaan Suku Minangkabau sendiri memilki cerita yang sangat unik. Dikatakan dalam sejarah yang berkembang dari mulut ke telinga, bahwa di masa lampau ada peristiwa “pertarungan” antara Kerbau Minangkabau dan Kerbau Majapahit. Dari pihak Majapahit membawa kerbau dengan ukuran yang sangat besar. Sedangkan dari Minangkabau membawa seekor anak kerbau. Memanfaatkan kecerdasannya, masyarakat Minangkabau memberi tanduk besi ke anak kerbau tersebut. Tidak hanya itu, anak kerbau tersebut sengaja dibiarkan kelaparan agar saat berlawanan dengan kerbau Majapahit, anak kerbau tersebut memiliki insting kuat untuk menyusu kepada kerbau lawannya, yang akhirnya malah menusuk kerbau tersebut karena tanduk tajamnya. Hasilnya, Kerbau Minangkabau berhasil mengalahkan kerbau besar utusan Majapahit.

Peristiwa tersebut juga melatarbelakangi arsitektur bangunan di Minangkabau, terutama Rumah Gadang. Selain peristiwa itu, gambaran atap gonjong berbentuk tanduk kerbau ini  diklaim bahwa atap gonjong mirip haluan kapal mengacu pada cerita perlabuhan Iskandar Zulkarnain, leluhur orang Minangkabau. Ada juga yang memercayai bentuknya seperti daun sirih yang ditumpuk-tumpuk berjejer. Daun sirih sendiri telah lama menjadi bagian penting dan sakral dalam budaya Minangkabau, bahkan dalam tari pasambahan yang dibawa dalam carano adalah daun sirih.

Dekorasi rumah tradisional yang khas memiliki makna hierarkis contohnya dalam pengambilan keputusan. Jadi bentuk melengkung memiliki arti bahwa segalanya tidak boleh disampaikan secara langsung, harusnya secara diplomatis. Sedangkan bentuk perahunya merupakan pengingat masyarakat Minangkabau akan nenek moyangnya yang berlayar ke daerah tersebut. Kemudian, bentuk topi Iskandar Zulkarnain melambangkan kekuatan, dan jumlah lima gonjong Rumah Gadang melambangkan rukun Islam, sesuai pepatah Minangkabau yang kental ajaran agama Islam yakni adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Bentuk atap seperti tanduk kerbau tidak hanya sebagai perlambang dan makna saja, tapi memiliki kegunaan yang sangat baik. Bentuk miring tersebut dengan bahan yang bagus bisa menjadi bangunan anti-gempa. Saat bumi bergetar, bangunan dengan bentuk atap Bagonjong atau seperti tanduk kerbau ini tidak akan mudah roboh, melainkan ikut bergetar seiring ritme gempa. Ketika hujan juga atap tidak terlalu terbebani karena bentuk dari kecil ke bawah menjadi besar dan landai untuk air hujan turun perlahan.

Pada awal kemerdekaan Indonesia tepatnya tahun 1970-an, Gubernur Sumatra Barat Azwar Anas mengeluarkan kebijakan untuk membuat seluruh bangunan pemerintahan dengan atap Bagonjong. Hal ini bertujuan sebagai identitas Minangkabau di tanah Sumatra Barat. Akhirnya, Kantor Gubernur Sumatra Barat kini biasa disebut juga sebagai Rumah Bagonjong. Tak hanya kantor gubernur, bangunan lain seperti PDAM, Kantor Pos, BANK, dan lain-lain juga memiliki bentuk atap seperti atap Rumah Gadang.

Seiring perkembangan zaman, bentuk atap Bagonjong banyak digunakan pada bangunan lain seperti rumah, gazebo, pondok rumah makan hingga kandang burung atau hewan di kebun binatang maupun di rumah pribadi. Pergeseran penggunaan atap Bagonjong ini sedikit berlebihan dan kurang hati-hati. Karena berdasarkan sejarah dan adat masayarakat Minangkabau, atap Bagonjong sendiri punya makna yang kuat dan menjadi identitas sendiri bahwa kecerdasan masyarakat Minangkabau terlihat dari sejarah kemenangan kerbau kecil tersebut. Tapi penggunaan atap Bagonjong pada kandang hewan seperti sangkar burung dan kurungan ayam dinilai kurang tepat.

Sangat tidak elok jika lambang kebanggaan tersebut secara mudah diletakkan dimana saja. Tindakan itu berlawanan dengan makna dari atap itu sendiri sebagai bentuk penghormatan terhadap kerbau yang memenangkan perlawanan dengan kerbau Majapahit dahulu. Selain itu, makna bagian runcing gonjong tersebut sebagai bentuk kedekatan dengan tuhan agar selalu mencapai kemakmuran.

Berdasarkan makna yang telah lama diyakini masyarakat Minangkabau, urgensi secara fungsi tidak terlalu diperlukan bentuk gonjong pada bangunan lain seperti kandang hewan peliharaan. Bentuk kecil diatas dan besar kebawah pada gonjong berujuan agar atap tidak terbebani dengan berat air saat hujan turun, dan pada bangunan atau hal-hal kecil beratap gonjong, fungsi ini tidak mempengaruhi.

Sebaiknya, masyarakat lebih berhati-hati untuk menggunakan bentuk atap gonjong sebagai arsitektur bangunannya. ada banyak makna dan sejarah penting yang terekam dalam bentuk gonjong tersebut.  

*Penulis Merupakan Mahasiswi Departemen Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


Komentar