Pantai Sasak, Pasaman Barat. (Foto: Dok. Pribadi).
Hari itu di Bulan Juli tahun 2022 sekitar pukul setengah 2 siang, cahaya
matahari cukup panas dan sangat terang. Cuaca cerah, sangat pas untuk pergi ke
Pantai, hanya saja terlalu panas di perjalanan. Aku salah memilih waktu
berangkat. Dari rumahku, di Jambak, aku melajukan sepeda motorku menuju rumah
kakak ipar sahabatku di Pasaman Baru. Ia baru saja datang dari Padang Panjang
untuk berlibur di rumah kakak iparnya.
Jalanan cukup ramai menuju Pasaman Baru, memang jalan utama seperti itu
biasanya.
Sampai
di rumah sahabatku, kami berpamitan kepada orang rumah dari keluarga kakak ipar
sahabatku. Kendaraan beralih pengemudi. Aku duduk di belakang sebagai
penumpang, bercengkrama tentang masa kuliah kami.
Mengikuti
arahan dari google maps kami berkendara dengan laju hanya 40km/jam.
Meskipun sudah 20 tahun tinggal di Pasaman Barat, Aku tetap tidak hapal jalan
menuju Pantai Sasak, untung saja teknologi sudah maju, memudahkan pergi kemana
saja. Memasuki kecamatan Sasak, sudah tercium bau asin laut. Benar-benar
seperti nostalgia masa kecil. Dulu begitu mencium bau asin air laut, aku sangat
bersemangat bertepuk tangan di sepeda motor yang dikendarai ayahku. Kini, aku
pergi bersama sahabatku. Berhenti sejenak dari kegiatan kami yang sangat
memusingkan.
Setelah
melewati sebuah jembatan, kami sudah semakin dekat dengan kawasan pantai.
Berkendara sekitar 8-10 menit, kami sampai di gerbang depan kawasan wisata.
Sudah ada kios ikan segar didepan sana. Tidak hanya itu, ada juga penduduk yang
mengeringkan ikan asin disana. Biasanya ikan-ikan yang di jual di kawasan
wisata sangat murah. Sudah pasti juga ikan-ikan tersebut ikan segar. Karena, sehabis
melaut, nelayan langsung meletakkan ikan tersebut di kios ikan. Penduduk
setempat mengelola kios tersebut kemudian bagi sesuai bagian masing-masing
dengan nelayan.
Dikalkulasikan,
kurang dari satu jam dari Pasaman Baru,
kami telah sampai di tepi Pantai. Tidak langsung duduk di tempat yang
disediakan pemilik warung di sepanjang pantai, kami memilih berfoto-foto
terlebih dahulu. Bergaya seolah hari itu hari paling bahagia kami. Kami berfoto
di dekat area orang-orang biasa memancing. Bapak-bapak yang sedang memancing
terlihat tertawa dengan pose-pose konyol kami.
Telah
puas berfoto, kami berjalan menuju tempat duduk yang tepat di depan bibir
pantai. Aku memesan segelas Capucino dingin, temanku memesan sepiring mie
goreng pedas dan segelas nutrisari jeruk nipis. Sangat menyegarkan. Pemandangan
dan minuman kami serasi. Sama-sama menyembuhkan stres kami.
Sahabatku
menghidupkan live di instagramnya menyapa teman-temannya di media
sosial. Memperlihatkan ombak yang bergulung-gulung. Busanya menepi di tepi
pantai. Kemudian, hilang terserap pasir. Kami bahkan berandai-andai tentang apa
mungkin putri duyung nanti datang terdampar. Membicarakannya saja kami tertawa,
padahal kami tahu hal tersebut tidak mungkin.
Minuman
seharga Rp10.000 itu kuhabiskan sebentar saja, lalu aku membeli kue sapik dan
peyek kacang yang dijajakan penjual yang datang ke meja kami. Makanan tersebut
cukup murah, seharga Rp10.000 sudah dapat sekantong plastik gula sekilo.
Peyeknya benar-benar renyah, ada juga udang goreng yang dijual seharga seribu
rupiah satu tusuk berisi 3 udang.
Matahari
semakin rendah, hendak bersembunyi sepertinya. Langit juga mulai kelam. Usai
menghabiskan makanan kami, kami duduk di bebatuan yang disusun sedemikian rupa.
Hanya diam, itu yang kami lakukan. Suara ombak berbenturan dengan batu,
gemerciknya sempat mengenai wajahku. Asin terasa, tapi deburan ombak suaranya
lebih merdu. Saat membuka mata, terpampang jelas laut kemerahan melahap surya.
Matahari terbenam ini begitu indah. Beriringan kudengar juga suara adzan magrib
berkumandang. Usai puas dengan laut merah, kami langsung menuju masjid di dekat
pantai. Kemudian pulang ke rumah, tanpa melihat petunjuk lagi karena sahabatku
sudah hapal jalannya.
|
Komentar
Posting Komentar